Saturday, November 9, 2013

Sastrawan Religi yang Lahir dari Pesantren dan Seminari

“Kurestui mereka yang bercinta/Ikan-ikan/Angin dan gelombang yang berkejaran dalam matamu:/Jangan layarkan perahu bermuat lampu khianat/Dan biarkan batu-batu semekar mawar/Dalam rahim-mu. Telah kunyalakan rahasia bunga-bunga/Untuk melapangkan jalanmu ke muara. - “Sajak Bulan tentang Sungai” oleh Acep Zamzam Noor, seorang sastrawan religi dari Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Syair-syair yang lahir dari beliau-beliau yang pernah “ngelmu” atau menuntut ilmu di Pesantren, selalu bertema tentang cinta. Namun bukan cinta secara personal tapi lebih kepada cinta kepada Sang Pencipta. Mengingatkan saya akan syair-syair Rumi yang selalu melukiskan keindahan dan pujian terhadap Sang Pencipta.

Di Pesantren para santri ditekankan untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang muamalah ma’annas (interaksi dengan sesama) dan muamalah ma’allah (interaksi dengan Alloh).

Bagaimana dengan seminaris yang jebolan sekolah Seminari? Sebut saja tokoh/sastrawan Joko Pinurbo yang pernah menuntut ilmu di sekolah Seminari Menengah St.Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang-Jawa Tengah.

Dalam perjalanan hidupnya beliau masuk Seminari saat berusia 16 tahun. Saat itu Jokpin-begitu beliau biasa dipanggil-menciptakan syair pertamanya yang berjudul “Bulan Berdarah.” Syair ini lahir karena Jokpin ingin mendekontruksikan bulan yang selama ini penuh romantisme menjadi syair yang tragis. Menggambarkan bulan yang berlumuran darah, adalah cara Jokpin menggambarkan keindahan bulan purnama. Menarik yaa…jiwa seorang penyair memang beda dengan orang kebanyakan…hehehe. Namun konon syair pertama Jokpin ini hanya disimpan beliau dalam ingatannya. Hingga beliau pun sudah lupa isinya. Sayang sekali, padahal saya juga ingin menikmati syair pertama Joko Pinurbo tersebut.

Syair atau tulisan yang disampaikan para sastrawan melalui karya mereka, tak jarang menuai kontroversi dari para ulama. Hal ini karena mereka berani mengkritik institusi Pesantren ataupun Seminari. Dan tentu saja kritikan itu disampaikan dalam bentuk karya. Bukan melalui debat ataupun dengan kekerasan.

Sastrawan religi Abidah El Khalieqy dengan karyanya yang berjudul “Perempuan Berkalung Sorban” (Novel yang pernah difilmkan dan disutradarai Hanung Bramantyo) mengkritik tentang perlakuan terhadap perempuan sebagai “warga” kelas dua di Pesantren. *silahkan membaca novel dan menonton filmnya*

Seorang seminaris, Mario dari Santo Rafael, Kupang, NTT juga pernah menulis syair yang “menggugat” doa. Begini isi syairnya :

“Ia hapus percaya pada/Sebuah janji yang tak kunjung ditepati/Pada Tuhan yang tak kunjung mengirimkan/Bala bantuan, ia menyatakan permusuhan.//Jika ada injil yang diwartakan dalam perang,/Akan dia hapus dengan peluru/Dari dalam senapannya.”

Joko Pinurbo pun pernah memelesetkan kata Paskah atau kebangkitan Yesus melalui puisinya yang berjudul “Celana Biru”. Puisi plesetan yang justru menjadi terkenal. Yukk mari kita simak isinya :

“Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit/dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang/ke kubur anaknya itu, membawa celana yang dijahitnya sendiri.//Paskah?” tanya Maria./”Pas sekali,bu,” jawab Yesus gembira.//Mengenakan celana buatan ibunya,/Yesus naik ke surga.” - oleh Joko Pinurbo pada tahun 2004.

Tradisi hening yang tercipta dari suasana Pesantren dan Seminari, rupanya telah menginspirasi para sastrawan tersebut untuk menghasilkan karya yang menurut saya istimewa.

Pesantren, biasanya terletak di desa yang masih dikelilingi sawah dan sungai. Sehingga syair-syair para santri tidak jarang mengambil tema yang menggambarkan tentang alam, seperti sungai dan sawah bahkan tentang rahasia bunga (seperti syair Acep Zamzam Noor di atas). Keindahan alam semesta pun kemudian tertuang dalam syair nan indah.

Begitupun suasana Seminari, dengan dentang lonceng gereja yang memecah kesunyian di antara banyak pepohonan yang mengitari Seminari, membuat Joko Pinurbo asik berlama-lama duduk di bawah sebuah pohon, hanya untuk menulis sebuah syair puisi.

“Kulihat seorang tua berambut putih sedang duduk di sana. Di bawah pohon cemara yang rindang daunnya.” - “Tempat yang jauh dan indah” - oleh Joko Pinurbo.

“Pada mulanya adalah Sunyi dan Sunyi itu melahirkan Kata dan Kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah. Dan semua madah kembali ke Sunyi di baris terakhir semua puisi.” - “Surat Untuk Tuhan” - oleh Leo Kleden, SVD.

“Kugali hatiku dengan linggis alif-Mu/Hingga lahir mata air, jadi sumur, jadi sungai,/Jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang/Mengerang menyebut alif-Mu/Alif, alif, alif!” Oleh Zawawi Imron.

“Beragama itu harus bergembira, tanpa tekanan. Hal itu bisa dilakukan melalui ekspresi seni.” - Acep Zamzam Noor.

Hmm…sebagai seorang yang baru mengenal puisi apalagi berkenalan dengan sastra yang tidak pernah saya pelajari sebelumnya *latar belakang pendidikan saya adalah ilmu Ekonomi…eh gada yang nanya yah, hehe*, cerita dari balik Pesantren dan Seminari sangat menarik buat saya. Paling tidak saya mengerti proses para sastrawan besar dalam menghasilkan karya.


______________

sumber :  Artikel “Pada Mulanya Kata” - Majalah Tempo edisi 5-11 Agustus 2013.
also published :Kompasiana 

No comments:

Post a Comment