Saturday, January 17, 2015

Based on True Story dalam Menulis Fiksi

DSC_0003.jpg (3264×2448)
source Google image



Dalam menulis fiksi bisa dikatakan bahwa kita sedang mengarang, meng-khayal dan lain sebagainya. Menurut KBBI definisi fiksi adalah sebagai berikut :
Fik.si
[n] (1) Sas cerita rekaan (roman, novel, dsb); (2) rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan: nama Menak Moncer adalah nama tokoh — , bukan tokoh sejarah; (3) pernyataan yg hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.

Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/fiksi#ixzz2tAdSLbSM
Seorang teman pernah bertanya kepada saya, apakah cerita yang saya tulis itu nyata? lalu saya jawab  :
“Kebanyakan sih cerita yang saya tulis itu based on true story.”
“Hemm…berarti nyata ya?” katanya lagi –keukeuh dengan pendapatnya. Baiklah, saya kurang suka berdebat. Mungkin tulisan ini bisa jadi sebuah pencerahan.

Begini…
Based on true story berbeda dengan true storyTrue story berdasar kejadian yang sesungguhnya terjadi. Dan bila kemudian saya tuliskan kembali berdasarkan kisah nyata tadi (based on true story) maka cerita itu murni saya ceritakan kembali untuk dibuat cerita sesuai yang saya inginkan. Disinilah fiksi (rekaan, khayalan) saya yang akan berbicara. Saya akan menuangkan imajinasi saya berdasarkan berbagai macam pikiran/sudut pandang yang berseliweran di kepala saya –semacam opini yang saya ceritakan dalam bentuk fiksi.

Bila sudah begitu, imajinasi saya yang berbicara untuk kemudian saya tuangkan dalam bentuk tulisan. Kadang-kadang yang saya tulis mungkin tidak benar-benar terjadi pada kejadian sesungguhnya –bisa ending berbeda dari kenyataan. Atau menciptakan tokoh/karakter lain yang membuat cerita menjadi penuh konflik. True story tersebut bukan tidak mungkin saya acak-acak karakternya. Misal : Yang seharusnya karakter si A (dalam true story) suka mengalah, baik hati dan tidak sombong, bisa saya bikin menjadi temperamen dan mau menang sendiri. Atau si B yang plin plan tidak berpendirian bisa saya buat menjadi orang yang super tegas dalam segala cuaca. Jadi judulnya suka-suka saya yang nulis –ditampar senyumannya mas Nunu *Keanu Reeves.

Membuat fiksi dari sebuah true story juga kadang memudahkan penulis untuk mengembangkan imajinasinya dalam bentuk tulisan. Dan true story tidak berarti juga pengalaman pribadi penulis, karena bisa juga diambil dari berbagai kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar kehidupan si penulis. Artinya tidak terbatas pada satu orang saja (true story penulis), bisa dari teman, tetangga atau bahkan dari media.

Saya pernah menulis sebuah cerpen berjudul : Bu RT ternyata Sering Sms-an sama Paijo (based on true story)True story-nya : saat saya sedang berbelanja di tukang sayur yang mangkal, memang pak RT menghampiri tukang sayur tersebut. Lalu berbicara dengan si mang sayur untuk mampir ke rumahnya. Mang sayur itu cuma bilang, “Iya Pak, nanti saya sms Ibu,” dan dengan bercanda pak RT bilang, “Wah, sms Ibu segala?” langsung disambut dengan gelak tawa ibu-ibu –dasar pak RT caper juga neh sama Ibu-ibu. Intinya hanya seperti itu cerita sesungguhnya, tapi dalam tulisan fiksi yang saya ceritakan kembali, kejadiannya pak RT cemburu lalu marah-marah dan mukulin si Paijo hingga matanya lebam.

Dalam menulis fiksi –menurut saya, bebaskan saja imajinasi Anda. Manfaat dari membaca karya fiksi serahkan saja pada pembaca. Tidak perlu kita memaksakan diri membuat tulisan penuh dengan nasehat, menggurui dan sebagainya. Karena menulis fiksi bukan seperti menulis tips –menulis tips yang terkesan mendikte pembaca pun kadang bikin males. 

Menulis fiksi memang perlu imajinasi, lagi-lagi ini menurut saya loh –ngeles. Karena apa? begini, saya pernah ngobrol dengan seorang teman lainnya. Dia menganggap lucu dari sebuah cerpen yang dibacanya. Menurutnya saat membaca cerpen tersebut dia seperti sedang diceramahi, karena hanya berisi wejangan dan nasehat. Menurut dia, “Ngapain saya teruskan membaca? Mending ikut pengajian aja deh, lebih jelas.” Begitu katanya –menurutnya ceritanya menjadi tidak menarik karena dia sebagai pembaca merasa didikte, entah buat orang lain, katanya lagi. 

Setiap tulisan dari masing-masing penulis pun punya pembaca/penggemar sendiri. Atau mungkin penulisnya tidak berani berekspresi dalam tulisannya. Isi cerpen itu dengan sukses telah membuatnya tidak berniat membaca lebih lanjut. Tapi bila akhirnya pembaca  bisa mengambil manfaat dari sebuah tulisan fiksi, itu bonus buat penulisnya.
Memang tidak mudah menulis fiksi, penulis fiksi harus bisa mengaduk-aduk emosi pembaca. Cerita yang bagus adalah ketika cerita tersebut menghantui para pembaca/penggemarnya tanpa bisa dilupakan –membuat pembaca terkesan.

Beberapa novel yang berkesan buat saya, diantaranya adalah The Fifty Shades of Grey karya L. James, Master of The Game karya Sidney Sheldon atau Famous Five(Lima Sekawan) karya Enid Blyton. Lima Sekawan adalah novel petualangan anak-anak yang saya baca saat masih kecil. Roti jahe dan limun yang jadi bekal mereka saat berada di markas –di sebuah rumah pohon, telah sukses menghantui saya dan tidak pernah bisa saya lupakan hingga saat ini. Sampai sekarang pun saya tetap penasaran seperti apakah bentuk dan rasa roti jahe dan limun tersebut. Kapan ya saya bisa seperti mereka, yang sanggup membuat pembaca terobsesi dan setiap detail cerita bisa terus nempel di kepala tanpa bisa dilupakan –heu heu.

Kembali ke topik, jadi…begitulah cara saya menulis fiksi bila diangkat dari based on true storyBtw saya pernah loh menulis fiksi tentang pembunuhan, pemerkosaan, lesbian–inspirasinya saya dapat dari berita kriminal di media, trus kalo cerita itu based on true story yang menurut teman saya itu adalah kejadian nyata penulis (true story) serem dong ah…come on :D.

Ini sebuah tulisan, sebagai jawaban untuk temanku itu, semoga bisa dipahami –senyum ceria full drama korea :)


***

No comments:

Post a Comment